Sejarah Koperasi Indonesia

Sejarah Koperasi Indonesia
Sejarah Koperasi Indonesia

Table of Contents

QlickLink - Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara berkembang memang sangat diametral. Di negara maju koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembangnya koperasi berada dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.

Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

Latar Belakang Timbulnya Koperasi

Dalam konteks historis kita mengenal adanya dua sistem ekonomi ekstrem yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme. Pada perkembangannya selanjutnya muncul sistem ekonomi campuran yang mencoba menggabungkan kedua sistem ekstrem tersebut. Sejarah koperasi memang tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan perkembangan sosialisme yang merupakan antitesis dari kapitalisme yang berkembang di Eropa. Memburuknya kinerja kapitalisme yang ditandai dengan terjadinya depresi ekonomi dengan indikasi banyaknya pengangguran dan kelangkaan barang, mendorong munculnya gerakan dari orang-orang yang tertindas ekonominya seperti kaum buruh untuk mewujudkan ide tentang koperasi.

Adanya perbedaan sistem perekonomian dalam pemerintahan akan mempengaruhi aliran yang dianut oleh koperasi. Misalnya, di Indonesia, ideologi Pancasila dan sistem perekonomian yang terdapat di dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 akan memberikan warna dan misi dari koperasi di Indonesia. Oleh karena itu, sistem perekonomian yang dianut oleh suatu negara akan berkaitan erat dengan aliran koperasi yang ada pada negara tersebut. Adanya keterkaitan ideologi, sistem perekonomian dan aliran koperasi yang dianut oleh berbagai negara dapat digambarkan sebagai berikut.

Sejarah Koperasi Indonesia

Perbedaan ideologi suatu bangsa akan mengakibatkan terjadinya perbedaan sistem perekonomian dan aliran koperasi yang dianutnya. Sebaliknya setiap sistem perekonomian suatu bangsa juga akan menjiwai ideologi bangsanya dan aliran koperasinya pun akan menjiwai sistem perekonomian dan ideologi bangsa tersebut. Dengan mendasarkan pada keterkaitan ideologi dan sistem perekonomian suatu negara, maka aliran koperasi yang dianut oleh berbagai negara di dunia yang didasarkan pada peran gerakan koperasi dalam sistem perekonomian dan hubungannya dengan pemerintahan. Secara garis besar Paul Hubert Casselman membagi aliran koperasi menjadi 3 aliran yaitu aliran Yardstick, aliran sosialis dan aliran persemakmuran.

Aliran Yardstick pada umumnya dijumpai pada negara yang memiliki ideologi kapitalis atau yang menganut sistem perekonomian liberal. Menurut aliran ini koperasi dapat menjadi kekuatan untuk mengimbangi, menetralisasikan dan mengoreksi berbagai kebutuhan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Walaupun demikian, aliran ini menyadari bahwa organisasi koperasi sebenarnya kurang memiliki peranan penting dalam masyarakat, khususnya dalam sistem dan struktur perekonomiannya. Hubungan pemerintah dengan gerakan koperasi bersifat netral. Hal ini berarti pemerintah tidak melakukan campur tangan terhadap keberlangsungan hidup koperasi di tengah masyarakat. Pemerintah memberlakukan koperasi dengan swasta secara seimbang dalam pengembangan usahanya sehingga maju tidaknya koperasi tetap terletak di tangan anggota koperasi sendiri. Pengaruh aliran Yardstick ini cukup kuat terutama di negara-negara barat dimana industri berkembang dengan pesat di bawah sistem kapitalisme antara lain seperti Amerika Serikat, Perancis, Swedia, Denmark, Jerman, dan Belanda.

Berbeda dengan aliran Yardstick maka lahirnya aliran sosialis ini tidak terlepas dari berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Karena itu pada abad XIX pertumbuhan koperasi di negara-negara barat sangat didukung oleh kaum sosialis. Menurut aliran ini koperasi dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, menyatukan rakyat lebih mudah melalui organisasi koperasi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, kaum sosialis kurang berhasil memanfaatkan koperasi bagi kepentingan mereka. Kemudian kaum sosialis di antaranya berkembang menjadi kaum komunis mengupayakan gerakan koperasi sebagai alat sistem komunis sendiri. Koperasi dijadikan sebagai alat pemerintah dalam menjalankan program-programnya sehingga otonomi koperasi menjadi hilang. Aliran ini banyak dijumpai di negara Eropa Timur dan Rusia.

Pada aliran Persemakmuran, koperasi dipandang sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa upaya untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki rakyat terutama yang memiliki skala kecil akan lebih tepat dilakukan dengan media koperasi. Penganut aliran ini meyakini bahwa organisasi ekonomi sistem kapitalis tidak akan menjadi sokoguru perekonomian. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa koperasi memegang peranan utama dalam struktur perekonomian masyarakat. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai mitra (partnership) yang menciptakan iklim yang kondusif agar koperasi tumbuh dengan baik.

Aliran-Aliran Koperasi Di Dunia

Sejarah Koperasi Indonesia

Sejarah Koperasi Di Indonesia

Gerakan Koperasi di Indonesia pertama kalinya diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi berbentuk bank tersebut kemudian dinamakan Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Koperasi ini kemudian melayani sektor pertanian (Hulp-Spaar en Lanbouwcrediet Bank) dengan meniru koperasi pertanian yang dikembangkan di Jerman. Koperasi tersebut kemudian berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan Sarikat Dagang Indonesia (SDI). Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan kemudian mengeluarkan UU No. 431 Tahun 1915 yang isinya antara lain:

  1. Untuk mendirikan sebuah koperasi maka pengurus harus membayar minimal 50 gulden.
  2. Sistem usaha koperasi yang dibuat harus menyerupai sistem koperasi yang sudah diterapkan di Eropa.
  3. Pendirian koperasi tersebut harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
  4. Proposal pengajuan pendirian koperasi harus menggunakan bahasa Belanda.

Adanya aturan tersebut menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun, setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes maka pada tahun 1927 atas prakarsa Dr. H.J Boeke, Belanda akhirnya mengeluarkan Undang-undang No. 91 Tahun 1927 yang isinya lebih ringan dari Undang-undang No. 431 Tahun 1915. Peraturan pendirian koperasi menjadi lebih mudah sehingga mendorong masyarakat mendirikan koperasi. The Studi Club 1928, sebuah organisasi kaum intelektual yang ikut berperan dalam mendorong berdirinya koperasi di Indonesia. Undang-undang No. 91 Tahun 1927 tersebut antara lain berisi:

  1. Untuk dapat mendirikan koperasi maka pengurus hanya dikenakan biaya sebesar 3 gulden untuk meterai.
  2. Proposal pengajuan pendirian koperasi dapat menggunakan bahasa daerah.
  3. Hukum dagang diberlakukan sesuai daerah masing-masing.
  4. Perizinan bisa dilakukan di daerah setempat.

Adanya Undang-undang No. 91 Tahun 1927 memberi angin segar bagi perkembangan koperasi. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1933 Belanda kembali mengeluarkan undang-undang yang isinya hampir sama dengan UU No. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia. Kehadiran Jepang sangat berpengaruh terhadap perubahan struktural bagi perkembangan koperasi di Indonesia. Peraturan Pemerintah Militer Jepang No. 23 Pasal 2 menyebutkan bahwa pendirian perkumpulan (termasuk koperasi), dan persidangan harus mendapat persetujuan dari pemerintah setempat. Akibatnya semua koperasi yang telah berdiri harus mendapatkan persetujuan ulang dari Suchokan. Pemerintah Jepang juga mengharuskan koperasi menjadi kumikai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun, fungsinya berubah drastis dan menjadi alat bagi Jepang untuk mengeruk keuntungan dan menyengsarakan rakyat. Kumikai diharuskan mengumpulkan bahan-bahan kebutuhan pokok guna kepentingan Jepang melawan Sekutu. Keadaan tersebut membuat masyarakat kecewa karena koperasi tidak lagi dapat digunakan sebagai alat perjuangan ekonomi sehingga semangat berkoperasi masyarakat Indonesia kembali melemah.

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia atau SOKRI. SOKRI menganjurkan untuk mengadakan pelatihan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. SOKRI juga memutuskan untuk menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi Indonesia.

Perkembangan Koperasi Masa Orde Lama Dan Orde Baru

Koperasi merupakan sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di Indonesia, bahkan Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai merumuskan kebijakan ekonomi yang sesuai. Seperti yang termaktub dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang mengisyaratkan bahwa koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan perekonomian Indonesia. Sejalan dengan Pasal tersebut maka pemerintah kemudian melakukan reorganisasi pada Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri menjadi jawatan yang mandiri. Urusan pengembangan koperasi selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada Jawatan Koperasi. Koperasi kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sampai tahun 1959. Namun, sejak diterapkannya sistem demokrasi liberal, koperasi kembali terombang-ambing karena dianggap tidak sesuai dengan liberalisme.

Pada perkembangan selanjutnya, koperasi kembali dijadikan alat untuk kepentingan politik. Kondisi ini berubah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan maka pemerintah juga mengeluarkan PP No. 60 Tahun 1959 yang antara lain menyatakan bahwa koperasi adalah sistem perekonomian Indonesia sebagai alat untuk melaksanakan praktik ekonomi terpimpin. Koperasi pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat karena adanya intervensi presiden. Namun, adanya kekacauan politik yang terjadi sekitar tahun 1960-an menyebabkan koperasi kembali digunakan untuk kepentingan kelompok politik sehingga mengalami stagnasi.

Pada tahun 1960, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 140 tentang Penyaluran Bahan Pokok dan menugaskan koperasi sebagai pelaksananya. Kemudian pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah nasional Koperasi I (Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin. Sejak saat itu langkah-langkah memolitikkan koperasi mulai tampak.

Pada Tahun 1965, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1965 di mana prinsip NASAKOM diterapkan pada koperasi. Pada tahun tersebut juga dilaksanakan Munaskop II yang bertempat di Jakarta. Munaskop II ini ditengarai sebagai pengambilalihan koperasi oleh kekuatan-kekuatan politik sebagai pelaksana undang-undang baru. Pada tahun 1965 juga ada kejadian yang memberi pengaruh terhadap perkembangan koperasi di Indonesia yaitu Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S/PKI ) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia.

Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1967. Dengan berlakunya undang-undang ini maka semua koperasi wajib menyesuaikan diri dan dilakukan penertiban koperasi. Undang-undang tersebut mengakibatkan rasionalisasi besar-besaran terhadap koperasi, sehingga sebagian besar koperasi dibubarkan atau membubarkan diri. Akibatnya terjadi penurunan jumlah koperasi dari 64.000 unit (45.000 unit di antaranya telah berbadan hukum) tinggal menjadi 15.000 unit. Namun, pemerintah Orde Baru membuat program koperasi yang diberi nama Koperasi Unit Desa (KUD) yang membuat koperasi kembali berkembang. Pembentukan KUD merupakan bentuk penyatuan beberapa koperasi pertanian yang kecil. Pada masa tersebut program pengembangan KUD diintegrasikan dengan program pengembangan pertanian lain, namun tidak semua KUD berjalan dengan baik. Berbagai masalah timbul dalam KUD sebagai akibat peraturan pemerintah yang ternyata kontraproduktif terhadap kinerja KUD sendiri.

Pada tahun 1992, UU No. 12 Tahun 1967 kemudian disempurnakan dan diganti menjadi Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Pada Undang-undang yang baru ini pemerintah mengubah landasan mental koperasi yang bersifat kesadaran individual dan kesetiakawanan menjadi homo economicus. Akibatnya koperasi tidak lagi dikerjakan untuk kepentingan anggotanya tetapi bertujuan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan tersebut tidak selalu dapat dinikmati oleh anggota. Selain UU No. 12 Tahun 1967, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1995 tentang Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi. Peraturan pemerintah tersebut juga sekaligus memperjelas kedudukan koperasi dalam usaha jasa keuangan.

Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar yaitu tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat dan berfungsinya aransemen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi yang efektif. Namun, dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, sering kali terjadi debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk mencapai hasil akhir tersebut.

Perkembangan Koperasi Pada Era Reformasi

Pada masa reformasi, jika dihitung secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730 koperasi, tetapi yang aktif hanya mencapai 28,55 persen, sedangkan yang menjalankan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42 persen saja (www.depkop.go.id). Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.

Perkembangan koperasi pada masa reformasi terutama yang terjadi di daerah provinsi mengalami pasang surut, kadang meningkat namun tidak jarang menurun. Berikut ini kita akan membahas materi yang berkaitan dengan perkembangan koperasi. Data perkembangan yang diperoleh hanya tahun 2003-2004, namun setidaknya diharapkan dapat mewakili kondisi yang terjadi pasca krisis ekonomi. Informasi dan data perkembangan koperasi diperoleh dari publikasi resmi Kementrian Koperasi dan UKM.

Perkembangan Kelembagaan Koperasi Secara Nasional Periode 2003-2004

Kelembagaan Koperasi periode 2003 – 2004 mengalami perkembangan secara signifikan dengan laju perkembangan rata- rata sebanyak 7.549 unit atau 6,13 persen. Empat provinsi dengan perkembangan jumlah koperasi terbesar pada periode yang sama adalah: Provinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 234 unit atau sebesar 13,23 persen; Maluku Utara sebanyak 74 unit atau sebesar 12,09 persen; Gorontalo sebanyak 68 unit atau sebesar 12,04 persen dan Bali sebanyak 241 unit atau sebesar 11,56 persen.

Perkembangan jumlah koperasi aktif untuk periode yang sama secara nasional, tercatat mengalami penurunan sebanyak 398 unit atau 0,42 persen. Walaupun demikian, ditinjau dari rincian per provinsi, ada beberapa provinsi yang mengalami perkembangan keaktifan koperasi yang cukup signifikan. Empat provinsi dengan pertumbuhan jumlah koperasi aktif terbesar adalah provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 18,22 persen atau sebanyak 258 unit yang selanjutnya disusul oleh provinsi Sumatera Selatan sebesar 12,78 persen atau 304 unit; DKI Jakarta sebesar 11,06 persen atau 356 unit dan Bali sebesar 10,35 persen atau 203 unit. Sedangkan perkembangan jumlah koperasi tidak aktif secara nasional tercatat sebanyak 7.947 unit atau 27,05 persen.

Provinsi dengan perkembangan jumlah koperasi tidak aktif terbesar adalah provinsi Kalimantan Timur dengan total jumlah koperasi tidak aktif sebanyak 245 unit atau 207,63 persen yang selanjutnya disusul oleh Sumatera Utara sebanyak 1.360 unit atau 89,18 persen; Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebanyak 737 unit atau 77,91 persen dan Jawa Timur sebanyak 1.799 unit atau 53,18 persen.

Sejalan dengan perkembangan jumlah koperasi aktif, jumlah anggota koperasi mengalami perkembangan sebanyak 240.395 orang atau 0,88 persen. Provinsi dengan perkembangan jumlah anggota terbesar adalah Lampung yaitu sebanyak 126.821 orang atau 18,68 persen; Sumatera Utara sebanyak 153.942 orang atau 17,68 persen; Sulawesi Utara sebanyak 61.235 orang atau 16,62 persen dan Kalimantan Barat sebanyak 48.306 orang atau 16,51 persen. Di sisi lain, provinsi dengan penurunan jumlah anggota terbesar adalah provinsi NAD dengan penurunan sebanyak 287.523 orang atau 40,88 persen; Papua dengan penurunan sebanyak 55.588 orang atau 28,62 persen dan Bengkulu dengan penurunan jumlah anggota sebanyak 22.281 orang atau 18,30 persen.

Hal menarik dalam menganalisis perkembangan jumlah koperasi, pertumbuhan koperasi aktif, perkembangan koperasi tidak aktif dan perkembangan jumlah anggota yaitu di mana 4 (empat) provinsi dengan pertumbuhan jumlah koperasi terbesar tidak selalu diikuti menjadi provinsi dengan pertumbuhan koperasi aktif terbesar dan provinsi dengan perkembangan jumlah anggota terbesar. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa peningkatan jumlah koperasi aktif sebagian besar disumbang oleh tumbuhnya koperasi baru, bukan dari berkembangnya koperasi tidak aktif menjadi aktif. Hal tersebut berdampak juga pada perkembangan jumlah anggota. Di sisi lain dengan adanya otonomi daerah yang berdampak terjadinya pemekaran daerah kabupaten/kota, sehingga berdampak juga pada terkendalanya laporan perkembangan koperasi dari daerah. Kabupaten/kota yang pada tahun 2003 belum sempat melaporkan ke provinsi, pada tahun 2004 sudah dapat melaporkan, sehingga berdampak adanya peningkatan yang cukup signifikan.

Perkembangan Usaha Koperasi Secara Nasional Periode 2003-2004

Perkembangan usaha koperasi yang dicerminkan oleh indikator keuangan koperasi seperti, modal sendiri, modal luar, volume usaha dan sisa hasil usaha koperasi periode 2003-2004 memberikan gambaran perkembangan yang tidak jauh berbeda dengan perkembangan kelembagaan. Perkembangan modal sendiri koperasi memberikan pencerminan kewajiban anggota dalam membayar simpanan pokok dan simpanan wajib kepada koperasi. Dengan perkembangan jumlah anggota sebanyak 240.395 orang atau 0,88 persen, modal sendiri meningkat sebesar Rp2.569.464,34 juta atau 27,28 persen. Provinsi dengan perkembangan jumlah modal sendiri terbesar adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan peningkatan sebesar Rp102.934,00 juta atau 186,91 persen; Provinsi Kalimantan Barat dengan peningkatan sebesar Rp76.286,74 juta atau 132,76 persen dan Provinsi Jawa Barat dengan peningkatan sebesar Rp1.204.667,02 juta atau 110,28 persen.

Provinsi yang mengalami penurunan modal sendiri adalah Provinsi Kalimantan Timur dengan penurunan sebesar Rp54.688,21 juta atau 75,98 persen; Provinsi Bengkulu dengan penurunan sebesar Rp27.944,37 juta atau 46,14 persen; dan Provinsi Sulawesi Tengah dengan penurunan sebesar Rp104.844,00 juta atau 44,99 persen. Jika diteliti lebih jauh terhadap data perkembangan modal sendiri koperasi, terlihat adanya indikasi perubahan dalam struktur keanggotaan yang ada, yaitu adanya perubahan yang besar terhadap jumlah anggota yang keluar dan yang baru masuk menjadi anggota. Gambaran tersebut terlihat pada provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

Dalam hal modal luar koperasi, perkembangannya dirasakan sangat kecil, di mana pada periode yang sama perkembangan modal luar secara nasional tercatat hanya mencapai 13,10 persen atau Rp1.957.630,20 juta. Provinsi dengan perkembangan jumlah modal luar terbesar adalah provinsi Jambi, yaitu sebesar Rp139.727,65 juta atau 87,43 persen; provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar Rp93.414,10 juta atau 79,40 persen; dan provinsi Maluku yaitu sebesar Rp15.986,00 juta atau 72,92 persen. Provinsi dengan penurunan jumlah modal luar adalah provinsi Bangka Belitung yaitu sebesar Rp19.975,35 juta atau 61,04 persen; provinsi Lampung yaitu sebesar Rp389.915,81 juta atau 39,84 persen dan provinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar Rp18.734,17 juta atau 15,47 persen

Di sisi lain, perkembangan transaksi usaha koperasi yang dicerminkan oleh besarnya nilai volume usaha koperasi pada periode yang sama, tercatat mengalami perkembangan sebesar 18,83 persen atau Rp5.965.391,65 juta. Provinsi dengan perkembangan volume usaha koperasi terbesar adalah provinsi Sulawesi Tengah yaitu sebesar Rp61.586,00 juta atau 92,13 persen; provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar Rp188.785,44 juta atau 57,50 persen; dan provinsi Kalimantan Barat yaitu sebesar Rp158.173,59 juta atau 56,19 persen. Provinsi dengan penurunan jumlah volume usaha terbesar adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu sebesar Rp250.846,83 juta atau 51,70 persen; provinsi Bangka Belitung yaitu sebesar Rp18.614,37 juta atau 46,00 persen dan provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar Rp22.917,00 juta atau 11,51 persen.

Dari perkembangan volume usaha koperasi, perkembangan sisa hasil usaha koperasi nasional mengalami peningkatan sebesar 15,62 persen atau Rp292.307,84 juta. Provinsi dengan perkembangan sisa hasil usaha terbesar adalah provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp747.654,52 juta atau 428,31 persen; provinsi`Sulawesi Tengah yaitu sebesar Rp7.281,00 juta atau 172,05 persen dan provinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar Rp. 5.905,11 juta atau 88,93 persen. Provinsi dengan penurunan jumlah sisa hasil usaha terbesar adalah provinsi Lampung, yaitu sebesar Rp649.757,22 juta atau 93,78 persen; provinsi Bangka Belitung yaitu sebesar Rp2.895,52 juta atau 76,10 persen dan provinsi NAD yaitu sebesar Rp61.866,15 juta atau 74,30 persen.

Sumber : ESPA4323/MODUL 1, Universitas Terbuka.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini:

Gabung dalam percakapan